Rabu, 25 Februari 2009

Kongres Aurat

Alkisah ketika pembangunan demikian maju pesat,
sehingga perbincangan tak lagi melulu tentang orang melarat,
ratusan akhli aurat berkumpul di gedung tiga puluh tingkat,
di tengah gemerlap kota yang ramai seakan tak pernah istirahat,
mereka akan berbincang tentang topik yang sedang hangat,
hubungan keterbukaan aurat dengan masyarakat.


Tak dinyana di waktu pembukaan terjadi protes hebat
dari kaum yang tak sepakat,
terpaksa…terpaksa komplek gedung dijaga ketat
pasukan anti huru hara yang saling bergandeng rapat.

Pembukaanpun lantas berjalan mulus dan singkat,
dikawal banyak panitia cantik-menarik yang mengundang hasrat,
dan diskusipun lalu berjalan penuh silang pendapat saling meralat.

Hari pertama berakhir cepat dan hampir semua peserta penat,
lantas ramai-ramai langsung ke kamar dengan mencopot baju yang melekat
lalu tidur pulas, kiri kanan tak ingat.

Esoknya sidang ditunda sampai jam dua belas waktu setempat,
karena ada peristiwa seorang peserta nyawanya minggat,
dengan sebuah aurat yang tak lagi lekat,
karena tergigit pramunikmat yang entah di mana ia dapat.

Kongres berlangsung cepat,
panitia takut umat makin hebat memprotes dan mengumpat.
Akhirnya kongres ditutup dengan deklarasi yang tidak mengikat :

  • Jangan membuat aurat gampang terlihat,
  • Jangan bicara tentang aurat di sembarang tempat,
  • Jangan salahkan pramunikmat, carikan pekerjaan bermartabat,
  • Mainkanlah aurat dengan sopan tepat sesuai dengan amanat

Besoknya koran memuat,
deklarasi dengan judul yang kecil hampir tak terlihat,
sementara sebuah berita ditulis dengan judul dua kali lipat
“Seorang peserta kongres aurat mangkat dengan aurat tidak lekat”.

Masyarakat menjadi marah besar dan hendak menggugat,
namun percuma karena semua peserta sudah pulang naik pesawat,
kembali ke negerinya membawa nasehat,
tentang perlindungan dan pemberdayaan aurat.

Jakarta 6 November 1996.
Album II KopatKapit
SastrawanBatangan

Senin, 23 Februari 2009

Biarkan Bogor Merdeka Biar Jakarta Tahu Rasa


Banjir besar Jakarta yang berangsur surut, masih menyisakan masalah,
Bogor – yang kesal - sudah tidak mau terima lagi tuduhan
yang terus dan selalu dilontarkan,
bahwa banjir adalah ulah mereka.

Orang Bogor – yang sebal benar - lalu mengundang semua warga asal dan berKTP Bogor,
baik yang ada di Indonesia maupun yang ada di mancanegara,
termasuk yang sedang belajar matador di Spanyol
ataupun
yang lagi mancing ikan emas di Equador.


Mereka kemudian menggelar rapat besar
di atas tikar lesehan di bekas istana Raffles van Buitenzorg,
depan gedung Regina Pacis,
tak jauh dari Asrama Wisma Raya yang kini lumat diterjang bangunan baru,
lalu diproklamasikanlah Bogor merdeka.
Tak mau lagi republik-republikan
yang pemilunya menghabiskan milyaran uang rakyat,
sederhana saja,
Bogor menjadi kerajaan,
dengan raja yang punya kumis dan jenggot lokal,
yang masih famili jauh Raja Pakuan
entah dari jalur mana.
Lalu diresmikanlah istana kerajaan dekat pasar Cibinong yang semrawut macet
dengan pintu gerbang di bukit Sentul yang sudah lama gundul.

Semua kabupaten, semua propinsi, yang sedang dan kemarin dulu minta otonomi,
bersama-sama
mendelik mendengar, melihat dan membaui orang Bogor demikian nekad,
padahal
selama ini adem ayem saja, mungkin kedinginan
diguyur hujan dari gunung Salak, gunung Gede, gunung Pangrango di sebelah sana.
Orang Bogor tak peduli orang lain bersama-sama mendelik dan melotot
dan lantas keluarlah maklumat,
semua orang Jakarta harus keluar dari vila-vila dan dari kebun-kebunan indah mereka,
orang Jakarta menurut
karena ada ancaman dari bank di Swiss, Sekjen di PBB dan orang kuat di IMF,
yang ingin agar biaya rehabilitasi Jakarta murah,
biaya pembangunan merata ke Nusantara,
dan resesi Indonesia cepat selesai.

Lalu semua vila dan kebun-kebun dikosongkan,
diratakan dan sekejab,
mirip Raja Sulaiman alias Solomon membangun istana Ratu Balqis,
dikonversi menjadi hutan primer
dengan memakai bioteknologi kehutanan super canggih ciptaan IPB,
yang alumninya – seperti halnya alumni Indonesia lainnya - malas mencipta dan menulis.

Orang Bogor,
yang aslinya tidak galak karena mewarisi filosofi ‘asah-asih-asuh’ Siliwangi, juga tahu diri, mereka membangun vila-vila dan kebun-kebun sungguhan di daerah transmigrasi,
sebagai tukar guling untuk orang-orang Jakarta yang diusir,
dana tidak masalah, tanpa proposal keluarlah pinjaman lunak tanpa pengembalian
dari negara-negara yang takut kiamat karena kualat mengabaikan negara miskin Indonesia ini.

Dan memang benar Jakarta tidak lagi banjir,
pembangunan merata dari Sabang sampai Merauke,
rakyat menganggap rezim penguasa adil bijaksana dan yang penting
daerah transmigrasi tidak lagi sepi.

Dan yang tidak benar karena itu hanya angan-angan,
mirip ketoprak humor yang pernah manggung malam minggu,
sebagai refleksi sulitnya menyadarkan orang yang punya banyak uang,
agar mau sadar memperhatikan bangsa besar yang sedang dirundung susah ini
lalu mau minggat
dari vila dan kebun-kebun di Puncak dan sekitarnya.

Kamis 14 Februari 2002/2009
Album III EmpritKedandul
SastrawanBatangan, Cibinong,

Kamis, 12 Februari 2009

Percuma

Adalah percuma,
kalau sederet gelar akademis membuat malu pemiliknya,
karena ketika ditanya kamu telah berbuat apa,
ia menjawab bahwa bertahun-tahun hanya
mendengarkan kuliah dosen, disuruh melakukan penelitian, disuruh membaca literatur,
disuruh ikut ujian, disuruh menyusun paper, skripsi atau disertasi,
lalu ketika pulang ke negerinya,

ia hanya ingat mencari nafkah,
lupa menciptakan pekerjaan,
tak sempat menulis buku,
tak ingat bahwa hanya sekian tahun lagi sisa umurnya,
tak sadar bahwa ia belum menjelaskan kepada dirinya sendiri tentang makna gelar akademis,
bahkan ia rindu sekolah lagi

Adalah percuma
kalau sederet gelar kebangsawanan hanya membuat sedih pemiliknya
ketika ia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa duwit itu kini adalah raja
dan karena duwit bisa diciptakan kebangsawanan,
dan ia lupa menjelaskan kepada dirinya sendiri tentang makna gelar kebangsawanannya

Adalah percuma
kalau sederet gelar kesucian hanya membuat susah pemiliknya
ketika ia harus berhadapan dengan kenyataan
bahwa ia baru saja berbuat kotor, lebih kotor daripada orang yang dianggap orang banyak kotor,
dan ia lupa menjelaskan kepada diri sendiri tentang makna gelar kesucian.

Adalah percuma kalau sederet gelar akademis,
kalau sederet gelar kebangsawanan,
kalau sederet kesucian,
membuat kertas penuh dan payah menuliskannya
lalu membuat sang pemiliknya menjadi malu, sedih dan susah
dan lupa menjelaskan kepada diri sendiri
tentang makna gelarnya

Cibinong 27 Oktober 1996.
Album I : KongKaliKong
Sastrawan Batangan

Selasa, 10 Februari 2009

Tak Ada Salah

Tak ada orang salah, pak,
ia begitu sebatas ia tahu,
ia begini sebatas ia mengerti,
kalau ia tahu, kalau ia mengerti,
bahwa ada yang lebih baik
tidaklah ia seperti itu

yang merugikan dirinya
yang merugikan orang lain.
Jadi kalau bapak menyalahkan orang lain,
bapak juga tidak salah
karena bapak tahunya hanya sebatas itu,
karena bapak mengertinya hanya sebatas ini

Bapakpun perlu tahu bahwa batas tahu, batas mengerti
selalu berubah dari waktu ke waktu,
karena itu
jangan heran dengan orang tak tahu malu
jangan heran dengan orang merasa benar dan sok tahu,
heranilah mengapa diri bapak tak tahu malu,
heranilah mengapa diri bapak merasa selalu benar dan sok tahu.

Kalau bapak paham, bapak tahu dan bapak mau mengerti
bapak telah membuka batas tahu,
bapak telah mempreteli batas mengerti.

Cibinong 5 November 1996
Album II : KopatKapit
SastrawanBatangan

Jumat, 06 Februari 2009

Terus Terang Teranglah Terus


Terus terang bicara gamblang itu memang tidak gampang
karena sering ada yang tersinggung lalu menjadi berang,
dan kalau berangnya meradang,
jangan heran,
sering memporakporandakan yang dianggapnya menantang.


Terus terang bahwa bicara gamblang itu dulu memang milik orang.
Namun karena ada yang berang, orang lantas tak mau terus terang,
lebih aman tak menyalahkan, apalagi bertutur kata menyerang.

Terus terang memang tak gampang memperoleh yang terang,
karena jarang yang mau berkata gamblang,
seringkali berbelit dan sering pula ujung-ujungnya uang.

Tetapi karena hidup tak manfaat kalau hanya memandang,
tanpa ada upaya untuk memperbaharui yang usang,
tanpa ada usaha untuk memperbaiki yang centang perentang,
maka berjuang memperoleh yang terang selalu ditunggu datang,
walaupun dengan bicara tak gamblang.

Terus terang bicara gamblang itu memang tidak gampang,
tidak segampang iklan lampu Phillips lebih terang


Sastrawan Batangan,
3 November 1996/29 September 2009