Senin, 23 Februari 2009

Biarkan Bogor Merdeka Biar Jakarta Tahu Rasa


Banjir besar Jakarta yang berangsur surut, masih menyisakan masalah,
Bogor – yang kesal - sudah tidak mau terima lagi tuduhan
yang terus dan selalu dilontarkan,
bahwa banjir adalah ulah mereka.

Orang Bogor – yang sebal benar - lalu mengundang semua warga asal dan berKTP Bogor,
baik yang ada di Indonesia maupun yang ada di mancanegara,
termasuk yang sedang belajar matador di Spanyol
ataupun
yang lagi mancing ikan emas di Equador.


Mereka kemudian menggelar rapat besar
di atas tikar lesehan di bekas istana Raffles van Buitenzorg,
depan gedung Regina Pacis,
tak jauh dari Asrama Wisma Raya yang kini lumat diterjang bangunan baru,
lalu diproklamasikanlah Bogor merdeka.
Tak mau lagi republik-republikan
yang pemilunya menghabiskan milyaran uang rakyat,
sederhana saja,
Bogor menjadi kerajaan,
dengan raja yang punya kumis dan jenggot lokal,
yang masih famili jauh Raja Pakuan
entah dari jalur mana.
Lalu diresmikanlah istana kerajaan dekat pasar Cibinong yang semrawut macet
dengan pintu gerbang di bukit Sentul yang sudah lama gundul.

Semua kabupaten, semua propinsi, yang sedang dan kemarin dulu minta otonomi,
bersama-sama
mendelik mendengar, melihat dan membaui orang Bogor demikian nekad,
padahal
selama ini adem ayem saja, mungkin kedinginan
diguyur hujan dari gunung Salak, gunung Gede, gunung Pangrango di sebelah sana.
Orang Bogor tak peduli orang lain bersama-sama mendelik dan melotot
dan lantas keluarlah maklumat,
semua orang Jakarta harus keluar dari vila-vila dan dari kebun-kebunan indah mereka,
orang Jakarta menurut
karena ada ancaman dari bank di Swiss, Sekjen di PBB dan orang kuat di IMF,
yang ingin agar biaya rehabilitasi Jakarta murah,
biaya pembangunan merata ke Nusantara,
dan resesi Indonesia cepat selesai.

Lalu semua vila dan kebun-kebun dikosongkan,
diratakan dan sekejab,
mirip Raja Sulaiman alias Solomon membangun istana Ratu Balqis,
dikonversi menjadi hutan primer
dengan memakai bioteknologi kehutanan super canggih ciptaan IPB,
yang alumninya – seperti halnya alumni Indonesia lainnya - malas mencipta dan menulis.

Orang Bogor,
yang aslinya tidak galak karena mewarisi filosofi ‘asah-asih-asuh’ Siliwangi, juga tahu diri, mereka membangun vila-vila dan kebun-kebun sungguhan di daerah transmigrasi,
sebagai tukar guling untuk orang-orang Jakarta yang diusir,
dana tidak masalah, tanpa proposal keluarlah pinjaman lunak tanpa pengembalian
dari negara-negara yang takut kiamat karena kualat mengabaikan negara miskin Indonesia ini.

Dan memang benar Jakarta tidak lagi banjir,
pembangunan merata dari Sabang sampai Merauke,
rakyat menganggap rezim penguasa adil bijaksana dan yang penting
daerah transmigrasi tidak lagi sepi.

Dan yang tidak benar karena itu hanya angan-angan,
mirip ketoprak humor yang pernah manggung malam minggu,
sebagai refleksi sulitnya menyadarkan orang yang punya banyak uang,
agar mau sadar memperhatikan bangsa besar yang sedang dirundung susah ini
lalu mau minggat
dari vila dan kebun-kebun di Puncak dan sekitarnya.

Kamis 14 Februari 2002/2009
Album III EmpritKedandul
SastrawanBatangan, Cibinong,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar