Rabu, 22 April 2009

Sains Gombal Teknologi Kumal

Ya, buat apa ada ilmu filsafat,
kalau itu hanya menengadah ke langit mencari kebenaran terstruktur,
sementara kaki menginjak bumi dalam jiwa yang kosong
dimakan pertanyaan yang entah kapan terjawab,
kalaupun ada,
hanya sekadar jawaban untuk diri sendiri, tak peduli orang lain tahu ataukah tidak.

Ya, buat apa sejarah,
kalau itu hanya sekadar daftar tahun kejadian tanpa makna,
kalau itu tidak menstimuli kesadaran dan kemauan untuk tidak perang,
untuk tidak saling berebut kekuasaan, penyebab derita berkepanjangan,

Ya, buat apa ada ilmu sosiologi,
kalau itu hanya sekadar disertasi tentang tingkah laku masa,
lalu dengan itu pula merekayasa masa untuk kepentingan kekuasaan.

Ya, buat apa ada ilmu psikologi,
kalau itu hanya jadi komoditas semniar,
sementara si anak dan remaja makin binal karena minus kasih sayang,
sementara si ibu makin berani kepada bapak karena ingin emansipasi,
sementara si bapak masih suka terkekeh-kekeh di panti pijat, lebih nikmat daripada di rumah
sementara si pekerja masih sangar memelototi si pengusaha yang pelit berbagi profit

Ya, buat apa ada ilmu ekonomi,
kalau itu hanya sekadar keseimbangan pendapatan dan belanja,
sementara kelebihan si kaya masih sulit menetes kepada si miskin,
sementara si miskin masih hanya sekadar menunggu pemberian si kaya

Ya, buat apa ada ilmu politik,
kalau itu hanya sekadar mengamati kejuaraan fitnah,
kalau itu hanya sekadar melihat kontes memenangkan pemilihan,
sementara pikiran kebangsaan, pikiran kemanusiaan,
menjadi sekadar hanya nomor dua.

Ya, buat apa teknologi,
kalau kemudian hanya sekadar jadi barang dagangan,
sementara orang banyak masih saja susah.

Ya sains, ya teknologi
sama-sama gombal,
sama-sama kumal,
jika hanya untuk itu.

SastrawanBatangan, 198508/200904

Selasa, 21 April 2009

Berat Senang Sang Isteri

Sungguh berat sang isteri,
selagi jiwanya diserbu oleh fasik dan takwa,
yang selalu datang kapan saja,
ia mesti merangkum semua
agar
tidak sekadar menjadi ibu anak-anak,
agar
tidak sekadar menjadi anak bagi orang tua suami dan dirinya sendiri,
agar
tidak sekadar menjadi saudara bagi keluarga suami dan dirinya sendiri
agar
tidak sekadar berhias, belanja dan mengatur rumah tangga
agar
tidak sekadar bekerja terpaksa atau karena kemauan dirinya sendiri,
agar
tidak sekadar menjadi isteri, kembang dan kekasih suaminya,
agar
tidak sekadar terminal cinta terakhir tapi juga yang pertama bagi suaminya,
agar
tidak sekadar tahu dan menghayati namun juga menyertai gejolak hati suami,

Sungguh senang sang isteri,
saat jiwanya sudah melepas keluh, kesah, berat dan susah,
saat jiwanya sudah dikawini oleh penyejuk hati,
saat jiwanya sudah menyerap semua pemahaman,
bahwa dengan memberi dan memberilah maka ia akan diberi,
baik di jagad sini maupun di akhirat sana.

Cibinong, 21 April 2009
SastrawanBatangan

Sabtu, 04 April 2009

Cingur Mbak Mega (3)


Mbak Mega, penjual rujak cingur, menatap foto wajah Mbak Mega,
presiden wanita pertama Indonesia,
yang hari itu terpampang di halaman depan koran,
yang tergeletak di atas meja warung,
lupa dibawa pemiliknya

Dan Mbak Mega, penjual rujak cingur, lantas bergumam dalam hati :

”Mbak Mega yang ada di foto itu adalah
mantan presiden
ketua partai….
isteri Taufik Kiemas
ibu Puan Maharani
wanita yang tidak perlu bersusah-susah mencari nafkah buat keluarganya...”

Mbak Mega, penjual rujak cingur,
tergelitik ingin membuat kalimat semacam untuk dirinya,
maka sambil mengulek rujak cingur, ia bergumam :

“Mbak Mega yang sedang mengulek rujak cingur ini adalah
wanita yang tak mampu membeli aksesori wanita
apalagi mengongkosi kampanye
Mbak Mega yang sedang mengulek rujak cingur ini adalah
ibu lima anak yang harus tetap tegar ditinggal mati muda suaminya
tanpa warisan, tanpa pensiun, tanpa asuransi,
dan karena tidak punya kemampuan berpolitik,
dan karena tahunya hanya rujak cingur itu disukai orang,
maka mbak Mega menjual rujak cingur......”

Mbak Mega, penjual rujak cinggur, ingin melanjutkan,
tetapi kehabisan kata dan karena itu menjadi pusing sendiri
karena lebih banyak cerita sedihnya daripada kegembiraan,
dan daripada pusing sendiri,
Mbak Mega lalu mempercepat ulekan rujak cingurnya,
biar pembeli cepat merasakan
biar pembeli puas lalu cepat membayarnya

Namun pikirian Mbak Mega, penjual rujak cingur tak mau diam,
terus dan terus mencari jawab atas siapa dirinya.
Tetapi sesaat kemudian Mbak Mega, penjual rujak cingur,
tiba-tiba tersentak ketika hatinya bicara
bahwa semua orang pemilik nama Mega
adalah sama saja di hadapan Tuhan yang menciptakannya,
kecuali perbuatannya dalam berlomba-lomba berbuat kebajikan
dan karena itu Mbak Mega, penjual rujak cingur,
makin cepat lagi mengulek rujak cingurnya,
ingin berlomba dengan mbak Mega yang ada difoto itu
untuk sama-sama memanfaatkan cingur
yang satu untuk diuleg dan kemudian dimakan
yang satu untuk didengarkan apa yang jadi misinya buat bumi nusantara ini.

Sastrawan Batangan, Maret 2009

Catatan : cingur = moncong , rujak cingur = makanan pedas Jawa Timur (Surabaya dan sekitarnya) yang bumbunya didominasi petis sehingga berwarna kehitaman dan salah satu lauk yang ada di dalamnya adalah kulit moncong (cingur) sapi. Cingur (moncong) di Jawa Timur dapat diartikan sebagai mulut yang digunakan untuk berbicara. Sehingga dalam perbincangan sehari-hari sering terdengar .....”Cingurmu” yang berarti ”mulutmu”