Kamis, 19 November 2009

KuDapati Dua Dari Seribu Masih Seidealis Dulu


Dulu, ketika seorang mahasiswa
diminta bicara mewakili temannya,
memberi selamat wisuda kepada seniornya
naiklah dia ke panggung,
dan terucaplah pesannya :
”Jangan lupa, kakakku,
di tengah quiz-quiz dan praktek-praktek laboratoriummu,
di tengah kuliah-kuliah dosen dan padatnya kurikulummu,
di tengah hujan-hujan dan gerimis-gerimis yang mengguyur tubuhmu,
di tengah cekak dan lambatnya kiriman uang dari kampungmu,
engkau pernah turun ke jalan,
berteriak lantang, memprotes keras
penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi, nepotisme
dan segala bentuk ketidakberesan di bumi Indonesia ini,
bahkan engkaupun sempat bentrok
dengan aparat hanya untuk maju selangkah,
sehingga bajumu cabik-cabik,
badanmu luka bahkan ada yang dipenjara.
Selamat jalan kakak-kakakku,
mengabdi tekunlah pada bangsamu,
bangsa kita semua”

Dua puluh lima tahun berpisah sudah,
ketika kemarin mereka bertemu,
dua-duanya salam-salaman,
dua-duanya bertabik-tabikan,
dua-duanya kangen-kangenan,
terjadilah perbincangan singkat,
”Syukur kakakku,
walau karir birokratmu nyaris hampir ke puncak,
di tengah banyak teman segenerasimu yang kena semprot karena ketahuan disuap,
kau tidak pernah masuk koran,
karena hidupmu sederhana saja”.
”Syukur adikku,
meski prestasi usahamu tidak secepat roket,
di tengah banyak kawan seprofesimu yang didamprat karena terbukti menyuap,
kau tidak pernah masuk berita,
karena hidupmu apa adanya ”

Keduanya merenung sejenak,
terngiang dengan kata ”sederhana” dan ”apa adanya”,
rupanya itu pengakuan yang keluar dari hati nurani,
rupanya itu pula yang dua puluh lima tahun menyelamatkan mereka,
dan itu pula yang siap untuk diceritakan kepada anak cucunya.
Keduanya, yang hanya dua dari seribu,
lalu minum bajigur, timus, dan singkong rebus,
diiringi lagu Sunda kenangan masa lalu.

Sastrawan Batangan, 19 November 2009

http://www.sastrawanbatangan.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar