Rabu, 14 Oktober 2009

Di Puncak Klimak


Panggung buat manusia ini ,
yang juga buatku dan buatmu,
memang meriah sungguh seru,
tak pernah sepi oleh bau mesiu, bau darah korban perang,

tak pernah kering oleh keringat orang-orang berkerah biru yang adu produktif
tak pernah sunyi dari tumpukan dokumen, konsep ruwet kaum kerah putih yang adu pintar,
yang seringkali juga beradu menipu,
tak pernah lepas dari protes kaum muda, kaum vokalis, terhadap kemapanan,
tak pernah diam dari tangis memelas orang-orang susah karena bencana
tak pernah istirahat dari tangis histeris orang-orang yang sedang didera depresi mental
tak pernah kehilangan senyum manis para cantik,
tak pernah lengang digoyang lenggak-lenggok si seksi,
tak pernah luput dari pecahnya ketuban tanda muncul generasi baru,
tak pernah lolos dari cekikikan dan batalnya air mani menjadi bayi,
tak pernah mengaso dari cekakan dan gelak tawa diserbu humor terprogram atau banyolan lepas,
dan klimaknya,
panggung buat manusia ini memang luas, meriah,
seru dan lagipula gerah dan panas buat yang merasa gerah dan panas,
namun,
panggung yang juga buatmu buatku itu,
terasa cerah, enak, hangat,
lembut dan sejuk
dengan memberi dan memberi
dengan memakelari dan menjembatani
dengan mendorong dan menganjurkan
bukan hanya menuntut,
bukan dengan meminta,
bukan dengan memaksa
bukan dengan berkonsep atau bicara saja

Sastrawan Batangan, 2 Desember 1995 / 4 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar